Kontrak

Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata yang Wajib Anda Ketahui

Hukum merupakan sistem peraturan yang didalamnya terdapat norma-norma dan sanksi-sanksi yang dibuat untuk mengendalikan perilaku manusia, menjaga ketertiban umum dan keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan. Keberadaan hukum bertujuan untuk melindungi setiap individu dari pelanggaran hak serta untuk menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Dengan adanya hukum di suatu negara, maka setiap orang dalam negara tersebut harus tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut dan orang itu memiliki hak atas suatu hal berdasarkan hukum yang berlaku.

Secara luas, terdapat 2 (dua) sistem hukum yang dianut oleh negara-negara di dunia, yaitu sistem hukum civil law yang umumnya dianut oleh negara-negara di Eropa dan sistem hukum common law yang dianut oleh Inggris dan Amerika. Dalam sistem hukum common law, peranan hakim sangat besar sebagai penentu hukum karena hakim menciptakan suatu preseden yang akan digunakan sebagai acuan bagi kasus berikutnya. Sedangkan dalam sistem hukum civil law, undang-undang adalah sumber hukum yang utama. Sebagai negara bekas jajahan Belanda yang menggunakan sistem hukum civil law, Indonesia juga menganut sistem hukum ini. Ciri pokok dari sistem hukum civil law adalah adanya pembagian dasar antara hukum perdata dan hukum publik, serta adanya modifikasi hukum yaitu pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dalam materi yang sama. Di bawah ini Libera akan menjabarkan secara detail mengenai perbedaan hukum pidana dan perdata.

 

Hukum Pidana

a. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana menurut C.S.T. Kansil merupakan hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.

b. Hukum Pidana sebagai Bagian dari Hukum Publik

Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, hukum pidana memenuhi kategori hukum publik karena 2 (dua) hal, yang pertama karena yang menjalankan negara adalah aparat pemerintah atau negara, dan yang kedua karena negara memperoleh hak untuk menghukum dan menerapkan hukum.

c. Pembagian Hukum Pidana

Berdasarkan rumusan hukumnya, hukum pidana dibedakan menjadi dua jenis yaitu hukum pidana materiil (substantive criminal law) dan hukum pidana formal (hukum acara pidana). Di mana hukum pidana materiil merupakan serangkaian peraturan hukum yang menetapkan perbuatan yang dilarang, siapa yang dapat dijatuhi hukuman, dan hukuman apa yang dapat diberikan. Artinya, hukum pidana materiil berisi norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan umum yang membatasi, memperluas, atau menjelaskan norma dan pidana tertentu.

Sedangkan hukum pidana formal merupakan serangkaian ketentuan hukum yang mengatur tata pelaksanaan yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum atas penerapan hukum pidana materill dalam implementasinya. Dengan kata lain, hukum pidana formal mengatur tentang bagaimana caranya negara melalui perantaranya (jaksa, polisi, hakim) dapat menjalankan kewajibannya untuk melakukan penyidikan, penuntutan, menjatuhkan dan melaksanakan pidana. Istilah lain dari hukum pidana formal adalah hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum acara pidana diatur dalam peraturan yang terpisah, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

d. Sumber-sumber Hukum Pidana

Sumber hukum pidana secara luas terbagi menjadi 2 (dua), yang pertama berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan yang kedua adalah di luar KUHP. KUHP merupakan lex generali atau aturan umum mengenai tindak pidana, sedangkan aturan di luar KUHP merupakan lex specialis karena mengatur lebih detail dan khusus. Misalnya, undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi atau undang-undang anti terorisme.

e. Tujuan Adanya Hukum Pidana

Pada dasarnya, hukum pidana yang telah diatur dalam KUHP dibuat untuk melindungi kepentingan umum yang memiliki implikasi secara langsung pada masyarakat secara luas (umum). Di mana, jika tindak pidana dilakukan akan berdampak buruk terhadap keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban umum. Selain itu, hukum Pidana bersifat sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) untuk menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu akan terdapat sanksi yang memaksa jika terjadi pelanggaran.

 

Hukum Perdata

a. Pengertian Hukum Perdata

Prof. Subekti menyatakan bahwa hukum perdata dalam arti luas meliputi seluruh hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan seseorang. Sedangkan menurut C.S.T. Kansil, hukum perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan antar orang yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur perorangan, antara satu subjek hukum dengan subjek hukum lainnya dalam satu negara.

b. Hukum Perdata sebagai Bagian dari Hukum Privat

Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan antar individu antara lain adalah hukum perdata dan hukum dagang. Oleh karena itu, akibat dari ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata tidak berakibat langsung terhadap kepentingan umum dan hanya berdampak langsung pada pihak-pihak yang terlibat.

c. Pembagian Hukum Perdata

Seperti halnya hukum pidana, hukum perdata juga terbagi menjadi dua yaitu hukum perdata materiil dan hukum perdata formal. Di mana .hukum perdata materiil merupakan hukum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan perseorangan seperti hukum perorangan (personenrecht), hukum keluarga (familierecht), hukum kekayaan atau hukum yang mengatur kebendaan (vermogensrecht), dan hukum waris (erfecht).

Sedangkan hukum perdata formal merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur pelaksanaan sanksi bagi para pelaku yang melanggar hak-hak keperdataan sesuai yang dimaksud dalam hukum perdata materiil. Istilah hukum perdata materiil lebih dikenal dengan hukum acara perdata yang aturannya hingga sekarang masih didasarkan pada peraturan peninggalan jaman penjajahan Belanda yaitu H.I.R (Herzien Inlandsch Reglement), RBG (Rechtreglement voor de Buitengewesten) dan Rv (Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering). Namun meskipun ketiga aturan tersebut masih digunakan, hukum acara perdata juga dilengkapi dengan undang-undang lainnya seperti Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung.

d. Sumber-sumber Hukum Perdata

Menurut Vollmar, sumber hukum perdata dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis atau kebiasaan. Sumber hukum yang termasuk ke dalam sumber hukum tertulis adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) serta undang-undang lainnya yang termasuk dalam ranah hukum perdata dan yurisprudensi. Sedangkan sumber hukum tertulis adalah hukum yang timbul karena kebiasaan dan tidak terdapat pengaturannya secara rinci dalam bentuk tertulis.

e. Tujuan Adanya Hukum Perdata

Jika hukum pidana bersifat ultimum remedium (upaya terakhir), hukum perdata bersifat privat, yaitu menitikberatkan mengenai hubungan perorangan dan kepentingan perseorangan. Sehingga tujuan adanya hukum perdata adalah mengatur hubungan antar perorangan, misalnya adanya undang-undang perkawinan yang mengatur tentang apa saja syarat perkawinan agar dianggap sah, hal-hal apa saja yang dapat membatalkan perkawinan, dan lainnya. Hal ini hanya berlaku bagi pihak yang melangsungkan pernikahan dan tidak memiliki dampak secara langsung bagi kepentingan umum.

 

Perkara Perdata Menjadi Pidana, Apakah Memungkinkan?

Dari beberapa penjelasan di atas sudah terlihat jelas perbedaan hukum pidana dan perdata. Namun ternyata pada prakteknya, banyak muncul perkara perdata berubah menjadi pidana. Padahal sudah jelas bahwa keduanya merupakan dua kategori hukum yang berbeda. Di mana, hukum pidana dikenakan kepada seseorang yang dianggap telah menganggu kepentingan umum oleh negara. Sedangkan hukum perdata, negara hanya bertindak sebagai pengawas.

Beberapa contoh perkara hukum perdata yang pada akhirnya berubah menjadi perkara pidana merupakan kasus sengketa tanah. Terlihat jelas bahwa sengketa ini terjadi karena adanya pertikaian antara dua pihak yang sedang memperebutkan lahan (hukum perdata), namun kejadian ini sering dibawa ke ranah hukum pidana. Hal ini mungkin terjadi jika terdapat unsur pidana yang muncul saat proses sengketa tanah, misalnya terdapat pemaksaan, penganiayaan, penggelapan, penipuan, dan sebagainya.

Kasus lainnya adalah ketika terdapat perkara yang melibatkan utang. Misalnya seorang tersangka tiba-tiba harus mendekam di penjara karena dirinya telah berutang kepada seseorang. Hal ini jelas murni kasus perdata, namun bisa saja masuk ke ranah hukum pidana karena adanya penggunaan pasal yang dianggap sebagai ‘pasal karet’, di mana tersangka dapat dianggap telah melakukan penggelapan dan penipuan kepada korban. Tuduhan inilah yang  akan terus diajukan hingga utang tersebut dapat dilunasi oleh tersangka.

 

Itulah beberapa penjelasan lengkap mengenai perbedaan hukum pidana dan perdata serta contoh perkara perdata yang bisa menjadi pidana. Bagi Anda yang mengalami masalah hukum, pidana maupun perdata Anda dapat melakukan konsultasi langsung secara GRATIS melalui Libera.id. Selain itu, Libera.id juga dapat membantu Anda membuat perjanjian yang sesuai dengan kebutuhan. Jadi tunggu apalagi? Segera konsultasikan masalah hukum pidana dan perdata Anda sekarang juga di Libera.id.

Related Posts

Beda MoU dan Perjanjian Dilihat dari Ciri, Tujuan & Kekuatan Hukumnya!

MoU atau Memorandum Of Understanding adalah nota kesepahaman atau kesepakatan. Sebenarnya MoU sendiri tidak dikenal di dalam hukum konvensional Indonesia, namun biasanya MoU sendiri sering digunakan sebagai pra-kontrak atau perjanjian pendahuluan. MoU sendiri dibuat dengan tujuan agar para pihak dalam sebuah perjanjian memiliki kesepahaman yang sama dalam hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian nantinya. Lalu apakah MoU sendiri diperlukan dan bagaimana kekuatan hukumnya dalam mengikat para pihak? Agar lebih jelasnya, mari kita bahas perbedaan MoU dan perjanjian, serta mana yang memiliki kekuatan hukum paling tinggi.

Ciri-Ciri MoU & Perjanjian

MoU dan perjanjian bisa dibedakan dari ciri-ciri atau karakteristiknya. Jika disederhanakan, berikut ini adalah ciri-ciri MoU yang perlu Anda pahami.

  1. MoU merupakan perjanjian pendahuluan (pra-kontrak) sebagai landasan kepastian para pihak.
  2. MoU adalah kesepakatan yang disusun dengan ringkas dan jelas.
  3. Isi materi dalam MoU hanya memuat hal-hal yang umum dan pokok saja.
  4. MoU bersifat sementara atau memiliki tenggat waktu.
  5. MoU biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci.
  6. Dibuat untuk menghindari kesalahan atau kesulitan dalam pembatalan karena adanya keraguan satu pihak kepada pihak lainnya.
  7. MoU tidak mengikat secara hukum perdata, namun hanya mengikat secara moral.

Sedangkan, perjanjian memiliki beberapa ciri-ciri seperti: 

  1. Ditulis berdasarkan hukum, kesusilaan, dan terikat dengan kepentingan umum.
  2. Nama para pihak dan objek surat perjanjian wajib ditulis dengan jelas.
  3. Memiliki saksi yang hadir untuk menyaksikan dalam proses penandatanganan surat perjanjian.
  4. Para pihak wajib menulis nama lengkap dan tanda tangan.
  5. Berisi pasal-pasal yang mengikat kedua belah pihak secara hukum.
  6. Memiliki latar belakang pembuatan surat perjanjian.

Selain memiliki ciri-ciri di atas, perjanjian juga harus dibuat berdasarkan syarat sah pembuatan perjanjian yang telah dimuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Baca Juga: 4 Syarat Sahnya Perjanjian yang Harus Dipenuhi Ketika Membuat Perjanjian Bisnis 

Tujuan Dibuatnya MoU

Bukan hanya asal dibuat, ada beberapa tujuan perusahaan membuat MoU sebelum membuat perjanjian yang sebenarnya. Di bawah ini adalah tujuan MoU yang perlu Anda ketahui.

  • Sepakat mencapai tujuan bersama

Perjanjian dibuat untuk memastikan seluruh pihak yang terlibat memahami dan sepakat  dengan tujuan yang ingin dicapai bersama. Di mana, dalam perjanjian akan memuat tujuan, keperluan, dan ekspektasi yang diinginkan dari kerja sama, sehingga seluruh pihak akan paham akan tujuannya masing-masing. Jika sudah memahami poin-poin penting dalam MoU dan sudah terjadi kesepakatan antara para pihak, barulah perjanjian bisa dibuat.

Baca Juga: Pentingnya Staf Legal Officer di Perusahaan, Bisa Cegah Risiko Hukum hingga Bantu Perizinan

  • Mengelola risiko ketidakpastian

Salah satu risiko bisnis adalah ketidakpastian, di mana risiko ini bisa meningkat seiring bertambahnya pihak yang terlibat. Sebagai antisipasi risiko ketidakpastian, maka perlu ada nota kesepakatan atau MoU.

MoU inilah yang bisa mengikat kesepakatan, sehingga risiko risiko ketidakpastian bisnis seperti pembatalan sepihak bisa terhindari. Bahkan, meski MoU tidak mengikat secara perdata, kehadirannya tetap memberi tekanan secara moral pada pihak yang terlibat.

Baca Juga: Jangan Salah! MoU dan Perjanjian Memiliki Kekuatan Hukum yang Berbeda 

  • Sebagai bahan pertimbangan

Tujuan lain dari MoU adalah agar semua pihak yang belum yakin melakukan kerja sama bisa mempertimbangkan kembali kerja sama tersebut dengan lebih matang. Apalagi kesepakatan yang dilakukan tidak sepenuh hati memiliki potensi permasalahan di kemudian hari

Oleh karena itu, pertimbangan dari seluruh pihak sangat penting dilakukan. Jika sudah ambil keputusan untuk kerja sama, maka Memorandum of Understanding perlu dibuat dan ditandatangani bersama.

  • Mempermudah proses pembatalan

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa MoU tidak mengikat secara perdata, namun tetap bersifat formal dan mengingat secara moral. Jadi, kalau ada pihak yang merasa ragu untuk melanjutkan kerja sama, mereka bisa membatalkan dengan lebih mudah tanpa membutuhkan persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini tentu berbeda dengan perjanjian.

Mana yang Memiliki Hukum Paling Kuat, MoU atau Perjanjian?

Setelah mengetahui ciri-ciri MoU dan tujuan dibuatnya MoU tentu Anda sudah memahami mana dokumen yang memiliki hukum paling kuat bukan? Singkatnya MoU dibuat sebagai pra-kontrak, di mana setelah seluruh pihak setuju dan MoU dibuat, maka barulah perjanjian atau kontrak bisa dibuat.

Meski MoU merupakan pra-perjanjian bukan berarti MoU tidak mengikat, karena MoU tetap bisa mengikat dan memaksa para pihak untuk mentaati dan/atau melaksanakan seluruh hal yang tertulis didalamnya.

Selain itu, terkadang ada juga kondisi di mana perusahaan membuat perjanjian, namun dokumen tersebut dinamakan MoU. Artinya, penamaan dari dokumen tersebut tidak sesuai isi dari dokumen tersebut, sehingga MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian.

Baca Juga: Pentingnya Menambahkan Klausul Kerahasiaan Dalam Perjanjian Kerja 

Pasalnya, ketika MoU telah dibuat secara sah dan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan dengan undang-undang yang memiliki kekuatan mengikat dan memaksa. Tentu saja pengikat tersebut hanya sebatas pada hal-hal pokok yang termuat dalam MoU itu.

Jadi kesimpulannya adalah MoU belum melahirkan suatu hubungan hukum karena baru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. MoU yang dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi dasar penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian. Sehingga sangat disarankan setelah MoU ditandatangani dan disepakati bersama, maka Anda juga perlu membuat perjanjian atau kontrak kerja sama.

Bagi Anda yang masih bingung dalam membedakan MoU dan perjanjian dan kurang memahami cara membuat perjanjian yang sesuai dengan hukum berlaku, berimbang, dan sesuai dengan tujuan bersama, maka Anda bisa memanfaatkan layanan hukum dari Libera. Dengan Libera, Anda bisa melakukan konsultasi hukum bisnis dan membuat perjanjian bisnis yang sesuai dengan hukum berlaku. Dengan begitu Anda bisa terhindar dari masalah dan risiko bisnis di kemudian hari. Jadi tunggu apalagi? Yuk manfaatkan Libera sekarang dan buat bisnis Anda lebih berkembang.

3 Fungsi Meterai yang Sebenarnya di dalam Surat Perjanjian

Penggunaan meterai dalam sebuah surat perjanjian sering kali kita temui pada kehidupan sehari-hari, terutama pada dokumen penting seperti surat perjanjian, kontrak, surat pernyataan, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, sebagian besar masyarakat juga beranggapan bahwa perjanjian menjadi tidak sah tanpa adanya meterai didalamnya. Padahal, menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (UU Bea Meterai), fungsi meterai adalah sebagai pengenaan pajak atas dokumen tertentu, sehingga tidak menjadi hal penentu atas sah atau tidaknya suatu perjanjian.

Read more