Surat Perjanjian Tanpa Meterai di Atasnya, Bagaimana Keabsahannya Secara Hukum?
Hampir di setiap transaksi yang membutuhkan surat perjanjian akan dibubuhkan meterai di atasnya dan Anda akan diminta untuk menandatangani surat perjanjian tersebut. Lalu bagaimana jika surat perjanjian tanpa meterai di atasnya? Apakah surat perjanjian tetap sah secara hukum?
Banyak orang yang beranggapan surat perjanjian yang ditandatangani di atas meterai menandakan bahwa perjanjian tersebut sah secara hukum. Padahal, sah atau tidaknya suatu perjanjian tidak ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya meterai. Di bawah ini Libera akan menjelaskan mengenai fungsi meterai di dalam sebuah perjanjian beserta hal-hal yang menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian berdasarkan hukum yang berlaku.
Fungsi Meterai Dalam Surat Perjanjian
Hal pertama yang perlu Anda ketahui mengenai adalah fungsi dari meterai dalam surat perjanjian. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (UU Bea Materai) menyebutkan bahwa fungsi meterai yang sebenarnya adalah sebagai pajak atas dokumen untuk jenis dokumen tertentu yang dikenakan bea meterai. Sehingga pembubuhan meterai dalam dokumen dapat diartikan sebagai objek pemasukan bagi kas negara. Adapun mengenai jenis-jenis dokumen yang dikenakan ataupun tidak dikenakan bea meterai ditetapkan lebih rinci dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU Bea Meterai.
4 Hal yang Menentukan Sah atau Tidaknya Surat Perjanjian
Jika meterai tidak berfungsi sebagai penentu keabsahan surat perjanjian, hal apa saja yang membuat perjanjian sah secara hukum? Pada dasarnya perjanjian adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Agar perjanjian dianggap sah dan mengikat para pihak, maka ada 4 hal yang wajib dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yaitu:
1. Adanya kesepakatan antara para pihak
Jika biasanya kita mengenal perjanjian dibuat secara tertulis dan dikenal secara umum sebagai surat perjanjian, sebenarnya perjanjian tidak harus selalu dalam bentuk tertulis. Selama ada kesepakatan antara para pihak tanpa ada paksaan dari pihak manapun, maka perjanjian tersebut sudah dianggap memenuhi syarat sah perjanjian yang pertama. Kesepakatan ini dapat dibuat secara lisan maupun tulisan, karena KUHPer tidak menentukan secara tegas bentuk dari kesepakatan ini. Kecuali untuk beberapa perjanjian yang diwajibkan dibuat secara tertulis oleh undang-undang seperti perjanjian pengalihan saham atau perjanjian hibah. Namun, meski tidak semua kesepakatan harus dibuat secara tertulis, ada baiknya Anda tetap membuat dan menuangkan kesepakatan tersebut dalam perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak agar ada dasar yang jelas dan bisa dijadikan sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
2. Kecakapan para pihak
Cakap yang dimaksud di sini adalah jika pihak tersebut sudah dianggap dewasa yaitu telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah. Selain itu, cakap menurut KUHPer adalah orang yang tidak berada di bawah pengampuan atau orang yang mengalami gangguan pikiran, sehingga tidak dapat melakukan tindakan layaknya orang dewasa pada umumnya. Jika perjanjian mewakili badan hukum, maka pihak yang mewakili badan hukum tersebut haruslah orang yang memiliki kecakapan dan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya jika badan hukum berbentuk PT, maka yang berhak mewakili PT tersebut adalah Direktur yang memiliki wewenang berdasarkan Undang-Undang dan Anggaran Dasar PT.
3. Adanya hal tertentu sebagai objek perjanjian
Hal tertentu ini mencakup hak dan kewajiban para pihak yang diatur dalam perjanjian tersebut. Selain itu, terdapat objek yang diperjanjikan misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa rumah, ada rumah yang dijadikan objek dalam perjanjian tersebut dan diatur pula hak dan kewajiban dari pihak penyewa dan pihak yang menyewakan.
4. Suatu sebab yang halal
Syarat ini merupakan syarat terakhir yang diatur oleh KUHPer agar perjanjian dapat dianggap sah secara hukum. Makna dari suatu sebab yang halal adalah isi dari perjanjian tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Meskipun isi dari perjanjian dapat secara bebas ditentukan oleh para pihak, namun tetap harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jika seluruh syarat di atas telah terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat antara para pihak dapat dianggap sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak. Jadi Anda tidak perlu khawatir mengenai keabsahan suatu perjanjian apabila tidak ditandatangani di atas meterai, karena selama perjanjian tersebut memenuhi keempat syarat di atas, maka perjanjian tersebut sah.
Syarat sebagai Alat Bukti di Pengadilan
Setelah membaca penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian tanpa meterai tetap sah di mata hukum. Meski sah secara hukum, perjanjian tanpa meterai tidak bisa menjadi alat bukti di pengadilan. Oleh karena itu, meterai memiliki fungsi yang penting sebagai syarat suatu dokumen dapat dijadikan alat bukti di persidangan.
Baca Juga: Fakta Penting yang Harus Anda Ketahui Tentang Tanda Tangan di Atas Meterai!
Namun, jika Anda telah membuat perjanjian tanpa meterai dan ingin menggunakan perjanjian tersebut sebagai alat bukti di pengadilan, Anda tetap harus membubuhkan meterai di dokumen tersebut. Hal ini dinamakan dengan istilah pemeteraian kemudian, di mana pemeteraian ini dilakukan atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 70/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeteraian Kemudian. Anda dapat melakukan pemeteraian kemudian dengan cara menggunakan meterai tempel atau surat setoran pajak.
Perjanjian yang Wajib Dibuat dalam Bentuk Akta Notaris atau PPAT
Selain dokumen yang harus dibubuhi meterai ketika ingin digunakan sebagai alat bukti, ada juga jenis perjanjian yang wajib menggunakan akta Notaris dan/atau PPAT. Meskipun perjanjian tersebut sudah memenuhi 4 syarat di atas, namun jika perjanjian tersebut tidak dibuat dalam bentuk akta Notaris dan/ atau PPAT, perjanjian tersebut tidak diakui keabsahannya. Misalnya perjanjian hibah yang secara tegas diatur dalam Pasal 1682 KUHPer bahwa penghibahan dilakukan dengan akta Notaris dan bila tidak dilakukan demikian, maka penghibahan tersebut dianggap tidak sah.
Itulah beberapa penjelasan mengenai surat perjanjian tanpa meterai yang perlu Anda perhatikan. Jika Anda masih ragu dan ingin mendapatkan informasi lebih lanjut perihal surat perjanjian, Anda dapat melakukan konsultasi secara gratis dengan mendaftar di Libera.id. Selain itu, Libera juga dapat membantu Anda untuk membuat surat perjanjian yang Anda butuhkan untuk seluruh keperluan bisnis Anda. Jadi tunggu apalagi? Segera buat perjanjian bisnis yang Anda butuhkan di Libera.id.
Categories
Recent Posts
- Mengenal Founders & Klausul Penting yang Wajib Ada Didalamnya!
- Tantangan & Peluang Mengurus Izin Bisnis di Era Digital
- Pentingnya Izin PIRT untuk Meningkatkan Nilai & Kredibilitas Usaha
- Mengenal NIB dalam Sistem OSS RBA, Perlu Diupdate?
- Perbedaan PKWT dan PKWTT, Mana yang Paling Dibutuhkan Bisnis Anda?